Kamis, 25 Oktober 2012

ARTI LAMBANG PANCASILA

Loading image...
Sejarah Lambang Garuda Pancasila   
 
by YOGI on 2010-12-10 15:32:43
Garuda merupakan lambang Negara Indonesia, hampir semua orang tahu itu. Namun hanya sebagian orang saja yang mengetahui siapa penemunya dan bagaimana kisah hingga menjadi lambang kebanggaan negara ini.

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, Sultan Hamid II yang berasal dari Pontianak diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin.

Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

LAMBANG NEGARA INDONESIA

Lambang Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Lambang Negara Republik Indonesia
Garuda Pancasila
Coat of Arms of Indonesia Garuda Pancasila.svg
Penjelasan
Pemangku Republik Indonesia
Sejak 11 Februari 1950
Perisai Di bagian tengah Garuda, melambangkan Pancasila, ideologi nasional Indonesia
Penopang Garuda (penopang tunggal)
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Elemen Jumlah bulu Garuda melambangkan tanggal 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Republik Indonesia
Penggunaan - Lambang Negara (contoh pada Paspor Indonesia dan dokumen resmi kenegaraan)
- sebagai lambang kenegaraan dan ideologi nasional
- penggunaan resmi kenegaraan lainnya
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.
Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.[1]

Daftar isi

Sejarah

Arca Raja Airlangga digambarkan sebagai Wishnu mengendarai Garuda.
Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II masih menampilkan bentuk tradisional Garuda yang bertubuh manusia.
Garuda Pancasila yang diresmikan penggunaannya pada 11 Februari 1950, masih tanpa jambul dan posisi cakar di belakang pita.
Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
Lambang Garuda juga digunakan di jersey Tim Nasional Sepak Bola Indonesia
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis. [2]
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.[3] Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.[4] Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

PAN BATU KUNO

Dua pahatan patung berukuran sama seperti singa hidup, masing-masing dengan berat 5 ton, ditemukan di daerah yang kini masuk wilayah Turki. Para arkeolog pun kebingungan akan fungsi batu granit bentuk kucing raksasa ini.

Salah satu kemungkinannya, patung yang dibangun antara 1400-1200 SM dimaksudkan untuk menjadi monumen buat sumber air suci, menurut para peneliti.

Singa yang mirip aslinya itu diciptakan oleh kaum Hittite yang mengendalikan sebagian besar kekaisaran di kawasan tersebut, bersamaan dengan masa singa Asia berkeliaran di kaki-kaki bukit di Turki.



"Singa-singa ini berjalan ke depan, dengan kepala yang agak direndahkan; bagian atas kepala mereka tidak lebih tinggi dari tengkuknya," tulis Geoffrey Summers dari Middle East Technical University dan peneliti Erol Özen dalam artikel yang diterbitkan di edisi terbaru American Journal of Archaeology.

Dua patung singa ini memiliki perbedaan gaya dan dibuat oleh dua pemahat berbeda. Patung singa yang ditemukan di desa Karakiz tampak benar-benar hidup dengan otot yang keluar dan ekor yang melingkar di belakang bongkahan batu granit.

"Para pemahat ini jelas-jelas tahu seperti apa bentuk singa," kata Summers pada LiveScience di sebuah wawancara. Menurut Summers, catatan arkeologis dan rekaman dokumen kuno mengindikasikan bahwa singa Asia yang kini sudah punah di Turki, masih sangat banyak di kawasan tersebut. Bahkan beberapa dipelihara oleh orang-orang Hittite di kandang.

Anehnya, patung di Karakiz memiliki warna oranye yang disebabkan oleh proses pengaratan mineral pada batu. Menurut Summers, ia yakin bahwa oranye bukanlah warna asli saat batu pertama dipahat.


Menggali singa

Kisah penemuan patung singa raksasa ini berawal pada 2001, saat Özen yang saat itu menjabat direktur Museum Yozgat, diberitahu soal keberadaan batu antik ini oleh seorang pria di desa Karakiz dan petugas dari Kementerian Budaya. Pencarian ekstensif di kawasan tersebut mulai dilakukan pada musim semi 2002 dan kerja lapangan mulai tahun berikutnya.

Meski begitu, para penjarah mengalahkan kecepatan para arkeolog. Singa Karakiz sudah terpecah dua oleh dinamit, mungkin karena dikira di dalamnya ada harta karun tersembunyi. "Ada kepercayaan bahwa monumen-monumen seperti ini memiliki harta karun," kata Summers. Ia menambahkan bahwa peledakan monumen adalah masalah besar di Turki. "Beritanya sering muncul di koran-koran Turki dalam beberapa bulan."

Singa kedua ditemukan di timur laut desa dan juga sudah terbelah jadi dua. Hasilnya, kedua patung singa ini yang biasanya dipasangkan satu sama lain, kini hanya punya satu singa utuh.

Bahaya penjarahan juga menghantui para peneliti saat mengerjakan pekerjaan mereka. Pada musim panas 2008, bukti 'pencarian harta karun' ditemukan di tambang tua bersama dengan bukti batu bentuk drum yang juga sedang dipahat.

Apa guna singa-singa ini?

Penemuan batu singa raksasa, bersama dengan potongan-potongan lain dari tambang tua, seperti baskom batu besar berukuran diameter 2 meter membuat arkeolog bertanya-tanya, apa guna barang-barang ini?

Pencarian di kawasan sekitar tempat ditemukannya batu tidak menemukan bukti adanya permukiman Hittite di masa pembuatan batu. Selain itu, ukuran batu yang besar berarti para pemahat tidak berniat memindahkan batu-batu itu untuk tujuan jauh.

Hipotesis Summers menyimpulkan bahwa batu-batu ini digunakan untuk menandai air, bukan istana atau kota besar.

"Saya rasa sangat mungkin bahwa monumen ini akan diasosiasikan dengan salah satu mata air yang sangat dekat," katanya dalam wawancara. "Ada paralel asosiasi antara pahatan Hittite dengan tradisi akan sumber air."



Bahkan, salah satu monumen situs terkenal seperti Eflatun P'nar menandai kolam suci yang "bersumber dari mata air di bawah kolam itu sendiri" tulis Yi?it Erbil dan Alice Mouton dalam sebuah artikel yang diterbitkan di edisi terbaru Journal of Near Eastern Studies. Dua peneliti tersebut menulis tentang air suci di Anatolia Kuno (Turki).

"Menurut teks tertua Hittite. air adalah elemen penyucian paling efektif," kata Erbil dan Mouton. Air digunakan dalam bentuk pembersihan atau bahkan mandi berendam dalam ritual-ritual keagamaan. Bukti penyuciannya sangat kuat.

Bagi orang-orang Hittite, dunia alamiah, termasuk mata air, memiliki makna religius penting, sangat penting sampai bisa dijaga oleh dua patung singa raksasa. "Sumber air adalah suci, sama seperti gunung-gunung mereka juga suci," kata Summers.